Mengkritisi Buku Penodaan Islam di Gramedia (7)
Pada pasal 13 buku “Sang Putra dan Sang Bulan; Kristen dan Islam” (terjemahan edisi Inggris Christianity and Islam: The Son and The Moon), secara khusus evangelis Curt Fletemier berusaha menghantam keaslian Al-Qur'an melalui sisi sejarah penulisannya. Salah satu faktor yang meragukan keaslian Al-Qur'an, menurut Curlt Fletemier adalah adanya bagian Al-Qur'an yang hilang ketika seekor kambing memakan daun-daun palma tempat bagian-bagian Al-Qur'an ditulis (hlm. 159).

Jurus-jurus perancuan sejarah Al-Qur'an itu sudah sangat usang. Secara ilmiah, berbagai tudingan para orientalis dan misionaris yang menyerang otentisitas Al-Qur’an itu sudah terjawab buku monumental Prof Dr Muhammad Mus­thafa Al-A’zami The History of The Qur’anic Text, From Revelation to Compilation (edisi Indonesia: Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya).
Curlt belum tahu bahwa secara teknis, faktor keaslian Al-Qur'an terjaga bukan oleh tulisan dan manuskrip, tapi oleh banyaknya intelektual penghafal Al-Qur'an sejak zaman Nabi hingga saat ini. Sudah tak terhitung berapa juta manusia yang hafal Al-Qur'an di luar kepala tanpa salah satu titik koma pun. Dengan banyaknya para penghafal Al-Qur’an di seluruh dunia, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berani ber­komentar:
“Umat kita tidaklah sama dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mau menghafal kitab suci mereka. Bahkan seandai­nya seluruh mushaf itu ditiadakan, maka Al-Qur’an tetap tersimpan di hati kaum muslimin.”
Bila dibandingkan secara objektif, maka ada tiga perbedaan mendasar antara sejarah Al-Qur'an dan Bibel:
Pertama. Al-Qur’an ditulis oleh puluhan juru tulis wahyu langsung di bawah pengawasan Rasulullah SAW. Beliau mendoku­men­tasikan Al-Qur’an dalam bentuk tertulis sejak masa turunnya wahyu. Karenanya, beliau menugaskan puluhan shahabat sebagai penulis wahyu, antara lain: Abban bin Sa’id, Abu Ayyub Al-Ansari, Abu Umamah, Abu Bakar As-Siddiq, Abu Hudzaifah, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubayy bin Ka’ab, Al-Arqam, Usaid bin Al-Hudair, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Al-Walid, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Umar bin Khatthab, ‘Amr ibn Al-’Ash, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah, Yazid bin Abi Sufyan, dll.
Saat wahyu turun, secara rutin Rasulullah me­­manggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat tersebut. Dalam hal penulisan ayat yang baru turun, Nabi memiliki kebiasaan untuk meminta penulis wahyu untuk membaca ulang ayat tersebut setelah menuliskannya. Menurut Zaid bin Tsabit, jika ada kesalahan dari penulisan maka beliau yang mem­betul­kannya, setelah selesai barulah Rasulullah membolehkan menyebarkan ayat tersebut.
Sementara Bibel ditulis dalam waktu puluhan hingga ratusan tahun sepeninggal para nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Sementara kitab Perjanjian Lama disusun antara tahun 1.400 sampai 400 Sebelum Masehi, sedangkan Per­jan­jian Baru disusun antara tahun 50-100 Masehi. Ketidakhadiran para nabi dalam proses penulisan Bibel, menjadi peluang tersendiri terhadap pemalsuan (tahrif) terhadap kitab suci.
Kedua. Al-Qur’an dihafal oleh para shahabat yang langsung belajar kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Bibel sama sekali tidak dihafal oleh orang-orang yang mengimani­nya. Ketiadaan orang yang hafal Bibel, tentu­nya memperbesar peluang distorsi dan pemalsuan ayat.
Ketiga. Proses pembukuan Al-Qur’an adalah penya­linan ayat-ayat yang mengacu pada tulisan dan hafalan yang ditulis dan dihafal langsung di hadapan Rasulullah SAW semasa hidup­nya. Sedangkan pembukuan Alkitab mengacu pada tulisan manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip ini pun penuh dengan masalah, sebagian tidak diketahui penulis­nya, sebagian lagi rusak dan tak terbaca.
Kepalsuan dan Kehancuran Alkitab (Bibel)
Pada Bab Kedua (hlm. 31-42), Curt Fletemier memuji otentisitas kitab Injil dalam Alkitab (Bibel). Menurutnya, saat ini umat Kristen memiliki lebih dari 5.300 naskah kuno Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Sebelumnya sudah ada 15.000 salinan naskah kuno lainnya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Syria dan Koptik. Ada 268 naskah kuno dengan huruf besar, di antaranya berasal dari abad kelima dan abad-abad setelahnya.
Untuk lebih meyakinkan pembaca, Curlt mengurai sejarah penulisan Alkitab berbagai naskah: Codex Vaticanus, Codex Sinaiticus, Codex Alexandrianus, Codex Ephraemi, dan Codex Bezae. Setelah puas memamerkan sejarah Alkitab, penulis menutup Bab Kedua itu dengan kesimpulan singkat: “Dengan memberikan bukti-bukti dari bapak-bapak gereja, kita dapat dengan yakin mengatakan bahwa kita memiliki bukti-bukti teks yang lebih baik untuk kelayakan kitab-kitab Perjanjian Baru daripada Al-Qur'an yang dimiliki oleh orang Islam,” (hlm. 42).
Betapa hebat pujian Curlt Fletemier terhadap buku yang bernama Bibel. Namun pujian ini runtuh seketika dalam Bab Ketiga. Curlt sendiri yang menjatuhkan wibawa Alkitab dengan kalimat sbb:
“Perubahan Ejaan dan Kesalahan Penulis: Oleh karena suatu bahasa mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, maka ejaan sebuah kata dapat saja berubah. Kadangkala seorang Ahli Kitab yang sudah letih dapat membuat kesalahan ejaan atau membuat salinan satu kata yang sama sampai dua kali. Dari 200.000 atau sekian banyaknya kata-kata dalam Perjanjian Baru, bisa terdapat 8.000 kemungkinan perbedaan semacam ini” (hlm. 44).
Pengakuan Curlt tentang adanya ribuan kesalahan penulisan Bibel patut diapresiasi. Memang tak ada yang bisa dibanggakan dari kemajuan penerjemahan Alkitab ke dalam ratusan bahasa di seluruh dunia. Karena upaya memper­tahankan otentisitas Alkitab (Bibel) terhalang oleh fakta, bahwa naskah asli Alkitab yang disebut “autographa” sudah hancur dimakan umur.
Rev David J Fant dari New York Bible Society, mengakui bahwa naskah asli Alkitab telah hilang: “The question naturally arises, do any of the original manuscripts of the Bible still exist? The answer is No. The original manus­cripts were on papyrus and other perishable materials and have long since disappeared” (Simple Helps and Visual Aids to Understanding The Bible, hlm. 6).
Artinya: Persoalan yang biasanya ditanya, adakah naskah-naskah asli Alkitab (Bibel) masih ada sehingga kini? Jawabannya tidak. Naskah-naskah asli di atas papirus dan bahan-bahan lain yang mudah rusak semuanya telah lama hilang.
Karena naskah aslinya sudah punah, maka upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan Kristen adalah menyalin salinan yang lebih tua dan menerjemahkan dari bahasa yang satu ke bahasa lain. Dalam proses revisi dan terjemahan yang demikian panjang itu, otentisitas Alkitab sama sekali tidak terjamin, akibat bergesernya ayat dari versi yang lebih tua ke versi yang lebih muda usianya. Semakin banyak terjemahan dan revisi, maka semakin jauh berbeda dari kebenaran kitab suci yang asli.
Bahkan dalam banyak kasus yang terjadi, komentar atau catatan kaki (footnote) dalam versi Alkitab kuno, ternyata dalam versi Alkitab yang baru catatan kaki tersebut naik pangkat menjadi ayat yang resmi. Contohnya adalah kitab I Yohanes 5: 7-9!! bersambung [tim fakta, sabili]

1 komentar:

zanaim mengatakan...

tempat siapa lagi dirujuk kalau kitab itu hilang. sebaiknya ada yang menghafalnya kan baik untuk dirujuk ya kan...